Adsense Indonesia

Kamis, 16 Desember 2010

signifikansi ziarah dalam peringatan kesyahidan imam husain








Asyhadu annaka aqamtash-shalâta
Wa âtaytaz-zakâta
Wa amarta bil-ma`rûf(i)
Wa nahayta ‘anil-munkar(i)
Wa atha’tallâhi wa rasûlahu hatta âtâkal-yaqîn(u)…


SALAH satu ajaran Islam yang dianjurkan untuk terus dihidupkan adalah berziarah, baik langsung ataupun tidak, kepada wali-wali Allah. Akar kata ziarah itu sendiri adalah zâra, dengan bentukan berikutnya yazûru-ziyâratan, yang arti generiknya ‘mengunjungi’. Kata mengunjungi meniscayakan adanya pertemuan antara dua belah pihak dan salah satu adab bertemu adalah ucapan salam seperti assalâmu ‘alayka/ki/kum, yang diucapkan si pihak yang ingin bertemu kepada orang yang dikunjunginya. Jadi, dari awal si peziarah sudah menyampaikan doa keselamatan kepada orang yang dikunjunginya.

Secara teknis, tradisi ziarah ini sangat kental di kalangan Islam tradisional—dalam makna yang diberikan oleh SH Nasr atas kata tradisional. Bagi mereka, eksistensi orang-orang suci senantiasa menawarkan keberkahan ruhaniah dalam kehidupan dan kematian tokoh-tokoh suci tersebut. Di antara ziarah yang disunnahkan untuk didawamkan adalah Ziarah Warits, sebuah ziarah yang ditujukan kepada Imam Husain as. Beberapa bait ziarah bisa dilihat di awal tulisan ini.

Sepanjang kita perhatikan, hampir semua doa ziarah—apalagi yang ditujukan kepada Imam Husain—mengandung beberapa kewajiban yang seyogianya diperhatikan, yakni salat, zakat, amar makruf, nahi mungkar, dan kesaksian pada wilâyah. Empat yang pertama ini tidak akan tegak tanpa wilâyah sebagaimana diingatkan oleh shadiqayn, Imam Baqir dan Imam Shadiq.

Arti Penting Kesaksian
Dalam salah satu bait Ziarah Warits disebutkan:
Aku bersaksi bahwa engkau telah mendirikan shalat, telah menunaikan zakat, mengajak kepada kebaikan, dan melarang kemungkaran, engkau telah menaati Allah dan Rasul-Nya, hingga keyakinan (syahid) menjemputmu.
Al-Quran dan hadis-hadis para maksum as berulang-ulang mendorong kaum Muslim untuk memberi kesaksian demi kejujuran dan kebenaran. Testimoni ini haruslah diucapkan secara ikhlas di jalan Allah, dan bukan untuk pertimbangan lainnya.
Allah berfirman, …dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (QS. 65:2), dan juga, Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil (QS. 2:282).

Ketika menafsirkan ayat tersebut, Nabi saw mengatakan kepada kita, “Jika seseorang memberikan kesaksian yang benar dengan niat bahwa dengannya (kesaksiannya), seorang Muslim akan mampu mendapatkan kembali haknya, pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dengan cahaya kemilau dari wajahnya. Cahaya ini sangat benderang sehingga mata-mata akan menyaksikannya dari kejauhan hingga sejauh mereka dapat melihat. Tidak ada sesuatu selain cahaya di atasnya. Orang-orang akan mengenali sosok itu dengan nama, silsilah, dan penampilannya.” (Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.311, hadis ke-9)

Menyembunyikan Kesaksian
Sebagaimana dua pusaka berharga—al-Quran dan Ahlulbait as—telah menggariskan penyampaian kesaksian, mereka juga mengutuk orang yang berbuat sebaliknya. Al-Quran mengatakan, … dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya? (QS. 2:140), juga, Dan barangsiapa yang menyembunyikan kesaksian, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:283)
Ketika menafsirkan “ia adalah orang yang berdosa hatinya” Imam Muhammad Baqir as mengatakan, “Itu artinya hatinya telah ingkar pada agama.”

Adab Memberi Kesaksian
Ketika Nabi saw ditanya tentang adab memberi kesaksian, beliau berkata, “Apakah engkau melihat matahari? Jika masalah tersebut sejelas matahari, sampaikanlah kesaksian, jika tidak jelas, jauhilah memberi kesaksian.” (Wasâ`il asy-Syî’ah, vol.18, hal. 250, hadis ke-3)

Dengan nada yang sama, Imam Jafar Shadiq as menyatakan, “Jauhilah dari memberi kesaksian sampai masalah tersebut jelas bagimu laksana punggung tanganmu.” (Ushul al-Kafi, vol. 7, hal. 383, hadis ke-3)
Dari sini kita telah mempelajari arti penting memberi kesaksian. Kita harus membaca ziarah ini dan juga ziarah-ziarah lainnya dengan penuh perhatian dan keikhlasan karena kita sedang membenarkan kebenaran dan imamah Ahlulbait as. Mengabaikan ziarah-ziarah ini pada dasarnya seperti menyembunyikan kesaksian.

Ketika Imam maksum as mengajarkan doa ziarah tertentu yang mengandung pengakuan atas kesangatberhargaan kewajiban-kewajiban agama seperti salat, zakat, amar makruf, dan nahi mungkar, serta wilayah, maka pada dasarnya mereka meminta kita, pecinta mereka, untuk memerhatikan kewajiban-kewajiban tersebut. Justru kewajiban-kewajiban itulah yang menjadikan mereka berjuang di jalan-Nya.

Bukan sembarang jika para maksum as mengajarkan hal-hal tersebut dalam doa ziarah kepada mereka. Misalnya, terkait dengan salat. Menurut beberapa riwayat, syafaat dari para maksum as tidak akan menjangkau kepada orang-orang yang meremehkan salat, lantas apakah yang bisa orang katakan tentang mereka yang meninggalkan salat sama sekali? Dalam hal ini, kita harus mendirikan salat dengan semua prasyaratnya. Kita harus salat pada waktunya, dengan kekhusyukan, rendah hati, dan kedamaian serta seterusnya.
Demikian juga zakat (secara generik artinya ‘kesucian’), para maksum as juga mengajarkan hikmah-hikmahnya sehingga kita memberikan kesaksian atas mereka. Dan, seluruh karunia Allah wajib dikeluarkan zakatnya (:disucikan), bukan sekadar harta saja. Misalnya, zakat kekuasaan adalah keadilan, zakat kecantikan adalah kesucian, zakat kesejahteraan adalah kecenderungan dalam ketaatan kepada Allah, zakat keberanian adalah jihad di jalan-Nya, dan zakat kesehatan tubuh adalah mencari ilmu.

Ziarah Husaini
Ucapan salam—yang terkandung dalam doa-doa ziarah—itu sendiri memiliki tiga derajat makna. Pertama, mengucapkan as-salâm berarti mengucapkan salah satu nama Tuhan. Ketika mengucapkan assalâmu ‘alayka/ki/kum, kita mendoakan orang yang kita salami supaya mendapatkan ketenangan dan berharap Allah menjaganya. Kedua, as-salâm menandakan penyerahan diri. Jadi, mengucapkan assalâmu ‘alayka/ki/kum berarti, “kami menyerahkan diri kepada Anda bulat-bulat dan mempersilakan Anda untuk memperlakukan kami sebagaimana yang Anda suka (sesuai batas syariat, tentunya). Ketiga, as-salâm sebagai perlindungan dan keamanan. Maka, ketika kita menyampaikan assalâmu ‘alayka/ki/kum, itu berarti kita memberikan jaminan kepada orang yang kita salami bahwa kita tidak akan mengganggu atau menyakiti mereka, baik melalui perbuatan ataupun perkataan.

Jadi, ketika kita mengucapkan “assalâmu ‘alayka yâ Aba Abdillah, al-Husain”, itu berarti “semoga keselamatan dan kedamaian yang Allah limpahkan kepada makhluk-Nya tercurah atasmu. Sesungguhnya kami tunduk pada misi dan perintahmu. Apa saja yang engkau minta, kami akan melakukannya. Sedikit pun kami tak akan menyakitimu.”

Karena Imam Husain dan Ahlulbait as telah memainkan role of model mereka, maka selayaknya para pecintanya meniru secara total peran imam mereka atau murid setia mereka, dalam semua aspeknya, yang semua ini secara implisit terkandung dalam doa ziarah kepada mereka. Agar berhasil dalam menjalani peniruan total terhadap pribadi Imam Husain, kaum Muslim harus menyadari betul akan tradisi-tradisinya, nasehat, dan peringatannya, termasuk sunnahnya. Intinya, para pecinta Imam Husain mesti menghiasi karakter dan kepribadian mereka dengan sifat-sifat yang disandang oleh para imam maksum as.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Sundanese Attack Free Blogspot Templates Designed by sYah_ ID RAP for smashing my Life | | Free Wordpress Templates. Cell Numbers Phone Tracking, Lyrics Song Chords © 2010