Adsense Indonesia

Jumat, 06 Agustus 2010

Konsep Dasar IKM (Ilmu Kesehatan Masyarakat)


KONSEP DASAR
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

A. BATASAN DAN RUANG LINGKUP
Sebagai cabang ilmu kedokteran, ilmu kesehatan masyarakat dalam pembahasannya hanya mencakup ilmu kedokteran pengobatan untuk masyarakat, tetapi juga mencakup aspek pencegahan, peningkatan ksehatan umumnya, pemulihan kesehatan fisik dan mental serta sosial di masyarakat.
Dengan demikian Ilmu Kesehatan Masyarakat membahas keadaan/kejadian (phenomena) dan berbagai segi kehidupan sosial individu maupun masyarakat yang ada kaitannya dengan kesehatan individu/masyarakat yang bersangkutan.
Pembahasan ilmu kesehatan lebih luas dari pada pembahasan ilmu Kedokteran, kesehatan mencakup kebutuhan pokok dari kehidupan individu/masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut, upaya kearah itu dipengaruhi oleh banyak faktor sosial (WHO). Sehingga untuk mencapai keadaan “sehat” tersebut, banyak unsur kesejahteraan lainnya ikut berpengaruh.
Menurut sejarah perkembangannya, ilmu kesehatan bermula Dari cara pemeliharaan kesehatan/pengobatan yang berdasarkan kepercayaan bahwa “penyakit adalah kutukan dari tuhan dan para dewa”. Pada tahap permulaan ini pengobatan juga berdasarkan pemikiran primitive tersebut, yaitu pengobatan secara kuno atau tradisional. Tahap ini disebut juga “Primitive Consept”.
Sejalan dengan pertumbuhan budaya manusia dan teknologi, maka muncul kemudian yang berdasarkan konsep-konsep pelopor/perintis ilmu kedokteran modern, diantaranya:
• Hippocrates (460-370 SM) dengan menggunakan pendekatan observatif menemukan cara-cara pengobatan secara ilmiah yang sampai hari ini masih dianut metodanya. Dengan penemuan tersebut beliau dikenal sebagai bapak ilmu kedokteran.
• Anthony van Leeuwen hoek (1632-1723) merintis perkembangan mikroskop berlensa satu. Dengan alat tersebut ia menemukan protozoa dan spermatozoa.
• John snow (1813-1912 ) memperdalam ilmu yang kini disebut epidemiologi, dan dengan prinsip ilmu ini pula belia berhasil membuktikan penyakit kolera disebabkan dan dibawa oleh air.
• Louis Paster (1827-1912) merupakan sarjana pertama yang memperkenalkan dan menyakinkan penggunaan antisepitk dalam ilmu bedah.
• Carlos Juan Finlay (1833-1915) menemukan dan membuktikan sebagai penyebab dan pembawa demam kuning
• Robert Koch (1843-1910), pendiri dan ahli bakteriologi kedokteran dan modern, beliau juga penemu kuman penyebab antraks, tuberkulusis, dan kolera.
• Paul Ehrlich (1854-1915), sarjana yang pertama kali menemukan obat anti sifilis .
Ditunjang oleh penemuan-penemuan di atas, pada era berikutnya ditemukan pula berbagai jenis obat-obatan yang menandai masa tersebut dan dikenal sebagai “Basic Science Era” (era ilmu dasar) dalam ilmu kedokteran dan kesehatan.
Pada masa perkembangan berikutnya, sejalan dengan berkembangnya teknologi kedokteran/kesehatan, cara penemuan obat-obat baru, dan juga cara pengobatan serta pencegahan, berkembang pesat. Masa ini dikenal dengan “Era Clinical Science” (era ilmu klinik). Masa ini berlangsung dari tahun 1900-1950. Era Clinical Science bertujuan serta merupakan filosofi serta penyempurnaan sistem kuratif, namun sasarannya masih terbatas pada individu yang sakit saja.
Menyusul era kedokteran/kesehatan yang terakhir ini, maka cara-cara pengobatan mulai diperluas melalui lembaga pengobatan yang dikenal dengan poliklinik. Merupakan salah satu lembaga perawatan/pengobatan, kedokteran, baik dalam bentuk rawat jalan(ambulatory) maupun rawat inap di rumah sakit (in patient).
Dengan sistem pelayanan pengobatan diatas, masyarakat mulai diperkenalkan dengan cara pengobatan modern dan maju, dan masyarakat mulai menyadari manfaat serta perlunya lembaga pelayanan kesehatan/kedokteran. Sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan dari sistem pengembangan perawatan kedokteran, munculah lembaga pendidikan kedokteran bagi lembaga perawatan.
Pada tahap-tahap berikutnya modernisasi perawatan kedokteran berjalan seiring dengan kemajuan teknologinya, namun umumnya perawatan kedokteran tersebut masih terbatas pada perawatan/pengobatan ditujukan kepada individu yang bersiafat kuratif, dan belum ditujukan kearah pencegahan penyakit. Dengan laju pertumbuhan yang cepat, sasaran perawatan/pelayanan kedokteran akhirnya menjadi lebih luas, yaitu masyarakat banyak sebagai satu kesatuan sosial dari individu. Berbarengan dengan itu, dunia kedokteran mulai memandang jauh kedepan, yaitu pada lingkungan hidup, keadaan sosial, dan lain-lainnya yang senantiasa merupakan faktor-faktor yang perlu diperhitungkan dalam timbulnya penyakit.
Dengan beralihnya pandangan pelayanan kedokteran terhadap faktor penyebab penyakit, maka muncullah era pelayanan kedokteran berikutnya, yang disebut “Era Kesehatan Masyarakat” (Public Health). Dalam era yang terakhir ini, pengobatan dan perawatan kedokteran yang semua berorientasi klinis (clinical centered) mengalihkan orientasinya ke masyarakat (community centered). Era yang diliris oleh sarjana-sarjana Inggris ini (Edwin Chadwick dan Winslow) mengalami pasang dan surut pula, namun apa yang telah dirintis mereka, sampai sekarang masih belum usang dan tetap dianut dalam berbagai cara pemecahan masalah kesehatan.

B. Definisi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Ilmu Kesehatan Masyarakat adalah suatu “Ilmu dan Seni” mengenai cara pencegahan penyakit untuk mencapai perpanjangan masa hidup dan peningkatan kesehatan fisik dan mental secara berhasil guna melalui: pengorganisasian potensi yang ada dalam masyarakat untuk mencapai kesehatan lingkungan, pengendalian penyakit infeksi di masyarakat, penyuluhan/pendidikan perorangan tentang prinsip-prinsip kesehatan pribadi, pengorganisasian pelayanan pengobatan dan perawatan untuk diagnosis dini penyakit, pencegahan dan pengobatan penyakit, serta pengembangan gerakan sosial yang akan mendorong setiap individu dimasyarakat memelihara kesehatan dalam setiap perilaku kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian pencegahan lebih banyak diterapkan pada pelayanan kesehatan secara massal dalam mayarakat, sedangkan ilmu kesehatan masyarakat, disamping penerapan massal, juga secara individual dalam pengobatan/perawatan kesehatan kuratif, yang secara operasional hanya menunggu masyarakat yang memerlukannya. Dengan demikian kesehatan masyarakat juga memiliki aspek pencegahan disamping aspek pengobatan dengan cara penyuluhan perorangan.,
Pengorganisasian potensi masyarakat pada Definisi ilmu kesehatan masyarakat, terutama bertujuan peningkatan sanitasi lingkungan, pemberantasan penyakit menular, dan penyuluhan. Semua petugas dan masyarakat untuk ikut bertanggung jawab menanggulangi masalah kesehatannya sendiri.
Untuk hal yang dikemukakan terakhir, pelayanan kedokteran hanya mencakup individu dan keluarganya. Khususnya dalam pelayanan kesehatan yang mencakup pengobatan penyakit infeksi menular, misalnya: tifus abdominalis, kolera, malaria, filariasis, tuberculosis paru dsb. Upaya tersebut merupakan tindakan pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang penting sekali dalam pencegahan khusus tersebut menjadi pembawa (karier) penyakit, yang dapat menimbulkan penularan berikutnya. Oleh karena itu sesuai dengan fungsinya, ilmu kesehatan masyarakat pada akhirnya juga bertujuan untuk mencegah penyakit.
Secara garis besar upaya kegiatan masyarakat dalam penerapan ilmu kesehatan masyarakat adalah:
a) Pemberantasan penyakit, baik menular maupun tidak menular
b) Perbaikan sanitasi liongkungan
c) Perbaikan lingkungan pemukiman
d) Pemberantasan vector
e) Pendidikan (penyuluhan) kesehatan masyarakat
f) Pelayanan pesehatan ibu dan anak
g) Pembinaan gizi masyarakat
h) Pengawasan sanitasi tempat-tempat umum
i) Pengawasan obat dan minuman
j) Pembinaan peran serta masyarakat , dsb.

Peranan Freesex dalam Penularan AIds(tugas Epidemiologi)


PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Penyakit HIV/AIDS tumbuh dan berkembang lewat jalur ini ( free sex), karena memang penyebaran virus ini paling efektif melalui kontak fisik (hubungan kelamin).Meskipun ada penyebab lainnya tetapai lewat free sex lah yang paling efektif dalam penyebaran virus penyakit tersebut.
Sampai akhir tahun 1996 saja, WHO memperkirakan orang yang terinfeksi HIV/AIDS mencapai 30 juta orang dan mereka yang meninggal sebanyak 6,4 juta orang. WHO mencatat penderita terbanyak ditemukan di Amerika Serikat, yaitu 581.429 orang, disusul Brazil sebanyak 103.262 orang, Tanzania 82.174 orang, Thailand 59.782 orang, dan Prancis 45.395 orang.
Di Afrika yang diperkirakan 1000 anak anak terinfeksi HIV/AIDS setiap hari nya, setelah dilakukan penelitian ternyata kebanyakan orangtua mereka adalah penganut free sex.
Di Asia tidak ada Negara selain Thailand yang tercatat sebagai kasus yang banyaknya melebihi sepuluh ribu kasus. Setelah itu disusul india sebanyak 3000, Myanmar sebanyak 1.882 kasus, dan jepang sebanyak 1.557 penderita.
Di Eropa terutama di Perancis, tercatat jumlah penderita paling banyak yaitu 45.395 orang, melewati Spanyol yaitu 45.132 orang, kemudian disusul Italia yaitu 38.148 orang, Jerman sebanyak 16.138 orang, dan Inggris tercatat sebanyak 14.082. Di Negara yang membebaskan free sex memang tercatat banyak angka yang menunjukan penderita HIV/AIDS.
Brasil juga menyimpan penderita AIDS paling banyak, 103.262 penderita, dibandingkan Negara Amerika latin lainnya, seperti meksiko 29,962 penderita dan Argentina 10.461 penderita. Kanada secara resmi melaporkan ada 14.436 penderita AIDS clan Australia melaporkan 7.033 kasus.
Sedangkan di Negara kita, dari tahun ke tahun kasus HIV maupun kasus AIDS di Indonesia semakin bertambah jumlahnya, bahkan hingga September 2009 saja telah menembus angka 18.442 kasus di 300 kabupaten atau kota dan 32 provinsi di Indonesia [data dari P2PL].
Rate kasus Aids secara nasional sampai dengan 30 September adalah per 8,15 per 100 ribu penduduk (dengan berdasarkan data BPS penduduk Indonesia sebesar 227.132.350 jiwa) dengan ODHA yang meninggal tercatat 20,1 persen.
Kasus Aids tertinggi terdapat di provinsi Papua (17,9 kali angka nasional), Bali (5,3 kali angka nasional), DKI Jakarta (3,8 kali angka nasional), Kep. Riau (3,4 kali angka nasional), Kalimantan Barat (2,2 kali angka nasional), Maluku (1,8 kali angka nasional), Papua Barat (1,3 kali angka nasional), Kep. Bangka Belitung (1,4 kali angka nasional), Riau (1,0 kali angka nasional), DI Yogyakarta dan Sulawesi Utara (1,0 kali angka nasional) DI Yogyarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Utara (1,0 kali angka nasional) [data dari BPS dan P2PL].


B. RUMUSAN ISI MAKALAH
Rumusan isi makalah ini mengungkapkan tentang peranan free sex dalam penyebaran penyakit HIV/AIDS, teori dasar tentang hubungan antara keduanya, fakta, hasil penelitian, dan metode penelitian yang dilakukan,dari desain penelitiannya sampai defenisi operasional nya.



C. MANFAAT DARI PEMBUATAN MAKALAH
Manfaat dari pembuatan makalah ini sebagai bahan referensi mengenai hubungan, pengaruh dan peranan yang di timbulkan dari adanya free sex terhadap penyakit HIV/AIDS. Yang dimana kita bisa mengetahui lebih lanjut tentang penyakit ini hingga cara arau upaya pencegahan sehingga bisa melakukan tindakan sedini mungkin untuk menghambat atau memutus rantai penularan dan pencegahan penyakit tersebut..

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Free Sex
Sex bebas atau yang sering dikenal dengan istilah Free sex, adalah hubungan sexual yang dilakukan pra nikah atau bergonta ganti pasangan. Sex bebas merupakan tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang ditujukan dalam bentuk tingkah laku.
Faktor factor yang menyebabkan Sex bebas karena adanya pertentangan dari lawan jenis, adanya tekanan dari keluarga dan teman bagi anak remaja. Dari tahun ke tahun pelaku Sex bebas terus meningkat, telah dilakukan penelitian di kecamatan hamparan perak pada remaja, dan hasilnya dari hanya 5% pada tahun 1980 an pada tahun 2000 an meningkat menjadi 20%, ini perkembangan yang cukup besar yang terjadi di hanya tingkat kecamatan, belum tingkat nasional. Hal ini pula disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka tentang gambaran Seks bebas itu sendiri, telah dilakukan pula penelitian yang menggunakan kuesioner yang diajukan responden dengan jumlah sampel 98 reesponden di daerah tersebut, dan hasilnya yang terlibat pergaulan bebas 80,9% sedangkan sisanya mengetahui tentang informasi Seks bebas.


B. Pengertian HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah nama untuk virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Di dalam tubuh manusia virus ini terus bertambah banyak hingga menyebabkan sistem kekebalan tubuh tidak sanggup lagi melawan virus yang masuk.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan berbagai gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi virus HIV tersebut. Infeksi virus HIV secara perlahan menyebabkan tubuh kehilangan kekebalannya oleh karenanya berbagai penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh. Akibatnya penyakit-penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi bahaya bagi tubuh. “slowly but deadly“, pelan tapi mematikan itulah julukan yang saya berikan untuk virus penyakit yang satu ini. HIV/AIDS merupakan penyakit yang mematikan bagi manusia, bahkan hingga saat ini belum ditemukan obat untuk mengatasi penyakit yang menyerang sistem kekebalan manusia itu. Pengobatan hanya akan membantu Orang Dengan HIV/ AIDS (ODHA) untuk hidup lebih lama tetapi penyakit AIDS sendiri belum dapat disembuhkan tetapi dapat ditekan jumlah HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
Para peneliti dari Northwestern University bahwa wabah AIDS berawal dari Afrika bagian barat tengah sekitar tahun 1930, beberapa dasawarsa lebih awal ketimbang dugaan sebelumnya. Teori baru ini telah mencetuskan pengamatan sejarah pada peristiwa yang belum dikaitkan dengan penyebaran HIV, seperti pembangunan rel kereta api di Afrika di awal abad ke-20. Lantas apa hubungannya dengan HIV?..
Sebuah simulasi komputer yang rumit mengenai evoiusi HIV telah memperkirakan bahwa 1930 adalah tahun awal. Ketika itu pemerintahan kolonial Prancis di Afrika bagian barat melakukan kerja paksa untuk mem¬bangun rel kereta api. Karena para pekerja itu kekurangan makanan, diduga mereka berburu binatang liar di hutan dan tertular HIV dari primata yang mereka makan.
Rel kereta api Kongo-Samudera juga ditempatkan dekat kasus HIV pertama, di kota Kinshasa. Peristiwa sejarah lainnya, pengembangan kebun binatang dan penangkapan simpanse yang menggigit, mungkin juga menjadi faktor dalam penyebaran HIV (Chicago Tribune, 31 Januari 2000). Sementara itu, menurut sumber lain, penyakit maut tersebut didiagnosa pertama kali pads tahun 1980.
AIDS sendiri adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yakni penyakit rontoknya kekebalan tubuh yang disebabkan virus HIV (Human Immuno Deficiency Virus), yaitu virus HTLV-III (Human T-Cell Lymphotropic Virus-111, ditemukan tahun 1980), yang menyerang sel darah putih lymphocyte T-4. Setelah sel T-4 ini digempur HTLV-III, organisms racun (toxoplasma) berkembang, menyusup ke dalam tubuh lewat peredaran darah, lantas memproduksi bisul bernanah di otak, paru-paru, jantung, hati, dan limpa. Selanjutnya, proses ini mengakibatkan matinya jaringan sel, kista, dan berbagai kerusakan sel-sel otak.
Dengan rontoknya sistem kekebalan tubuh, maka berbagai penyakit yang menyerbu tubuh penderita, pasti bakal susah untuk disembuhkan. Flu ringan sekalipun bisa menjadi penyakit mematikan buat para penderita AIDS. penyakit “ecek-ecek” itu makin lama makin menggerogoti tubuh penderita clan ujung¬-ujungnya bisa berakhir dengan kematian. Jadi, bila ada yang menderita flu terus-terusan (nggak sembuh-sembuh) disertai munculnya bintik-bintik merah di sekujur tubuh, badan makin kurus kering, lidah berjamur, gemetaran, diare terus-terusan, demam, ber¬keringat di waktu malam, kelelahan di sekujur tubuh, sulit menelan dan bicara, napas tersengal-sengal, hati¬-hati, itu gejala AIDS. Tapi itu akan dialami setelah 5 sampai 10 tahun setelah positif terserang HIV. Jadi yang sekarang kelihatan sehat-sehat saja, belum tentu tidak terserang AIDS.
Perbedaan HIV dan AIDS
Orang yang baru terpapar HIV belum tentu menderita AIDS. Hanya saja lama kelamaan sistem kekebalan tubuhnya makin lama semakin lemah, sehingga semua penyakit dapat masuk ke dalam tubuh. Pada tahapan itulah penderita disebut sudah terkena AIDS.
Cara Penularan HIV
• Melalui cairan vagina atau sperma
• Seks yang sering bergonta ganti pasangan
• Penyimpangan seksual seperti: seks pra nikah, pelacuran dan homoseksual
• Penggunaan jarum suntik bersama dari orang yang sudah terinfeksi HIV
• Transfusi darah yang terkontaminasi dengan virus HIV
• Dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya

Orang yang terinfeksi HIV biasanya dapat hidup bertahun-tahun tanpa menunjukkan tanda-tanda penyakit. Mereka mungkin tampak sehat dan merasa sehat tetapi dapat menularkan virus pada orang lain.

Perjalanan Infeksi HIV/AIDS
Pada saat seseorang terkena infeksi virus AIDS maka diperlukan waktu 5-10 tahun untuk sampai ke tahap yang disebut sebagai AIDS. Setelah virus masuk kedalam tubuh manusia, maka selama 2-4 bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia. Tahap ini disebut sebagai periode jendela. Sebelum masuk pada tahap AIDS, orang tersebut dinamai HIV positif karena dalam darahnya terdapat HIV. Pada tahap HIV+ ini maka keadaan fisik ybs tidak mempunyai kelainan khas ataupun keluhan apapun, dan bahkan bisa tetap bekerja seperti biasa. Dari segi penularan, maka dalam kondisi ini ybs sudah aktif menularkan virusnya ke orang lain jika dia mengadakan hubungan seks atau menjadi donor darah.
Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka virus ini akan menggerogoti sel darah putih (yang berperan dalam sistim kekebalan tubuh) dan setelah 5-10 tahun maka kekebalan tubuh akan hancur dan penderita masuk dalam tahap AIDS dimana terjadi berbagai infeksi seperti misalnya infeksi jamur, virus-virus lain, kanker dsb. Penderita akan meninggal dalam waktu 1-2 tahun kemudian karena infeksi tersebut.
Di negara industri, seorang dewasa yang terinfeksi HIV akan menjadi AIDS dalam kurun waktu 12 tahun, sedangkan di negara berkembang kurun waktunya lebih pendek yaitu 7 tahun.
Setelah menjadi AIDS, survival rate di negara industri telah bisa diperpanjang menjadi 3 tahun, sedangkan di negara berkembang masih kurang dari 1 tahun. Survival rate ini berhubungan erat dengan penggunaan obat antiretroviral, pengobatan terhadap infeksi oportunistik dan kwalitas pelayanan yang lebih baik.
Pola infeksi secara global, sekitar 90% kasus HIV/AIDS ada Di Negara berkembang.


C. Hubungan dan Peranan Free sex dalam Penularan HIV/AIDS

Berdasarkan beberapa penelitian, AIDS paling efektif menyebar lewat hubungan seks. Baik antara laki-laki dan wanita, maupun yang abnormal, homoseksual dan lesbian. Celakanya, saat ini seks bebas sedang menjadi primadona. Kebebasan bergaul telah menjadi pintu gerbang penyebaran AIDS. Dan korban AIDS dari kalangan pelaku seks bebas ini memang paling banyak, Mereka sangat rentan alias berisiko tinggi terkena penyakit ganas ini. termasuk pelaku seks menyimpang, yakni para homoseks dan lesbian (studia edisi 022/Tahun I tentang gay dan lesbian).
Di “jalur” ini, penyebaran AIDS juga cukup efektif, Di beberapa penjara di Amerika, Sering dibuat repot dengan ulah para napi yang melakukan hubungan seks abnormal ini. Bahkan, fakta menunjukkan AIDS mudah menyebar di kalangan para napi yang homoseks.
Bicara seks bebas, memang bukan monopoli anak sekarang aja. Sejak dulu, yang namanya seks bebas, baik yang dilegalisasi melalui “bisnis” pelacuran maupun liar sudah marak. Bersamaan dengan itu, muncul pula penyakit menular seksual (PMS), yang ngqak kalah garang dari AIDS–seperti sifilis, gonorhoe, vietnam rose–dan bahkan para pelakunya orang-orang ngetop di zamannya. seperti gerombolan Columbus, Julius Caesar dan Cleopatra VII, Raja Charles V, Charles V, Raja Henry VIII, lalu Edward VI, Peter Agung, Katarina Agung, hingga Benito Mussolini, Napoleon Bonaparte, dan Adolf Hitler adalah tokoh-tokoh dunia yang terkenal sebagai penderita penyakit kotor sifilis dan gonorhoe. Itu dulu, sekarang, bisa ditunjuk hidung rombongan “selebritis” Hollywood macam Brad Davis, Rock Hudson, Fredy Mercury, Tony Richardson, dan Ian Charleson, Brur, mereka menemui ajal dihantam AIDS...
Pakar AIDS Dr. Zubairi Djoerban mengajukan beberapa bukti keterkaitan free sex dengan HIV/AIDS. Dia mengemukakan pada tahun 1999, dalam beberapa bulan terakhir, sampai dengan bulan Oktober 1999, pasien baru yang didiagnosis atau dirujuk kepadanya–selaku spesialis penyakit dalam–biasanya 1¬2 orang dalam satu bulan. Dia juga menambahkan bahwa dalam tiga minggu pertama bulan November 1999, menemukan 13 kasus baru infeksi HIV/AIDS, dan sembilan di antaranya orang orang yang “menyembah” free sex.
Dari tahun ke tahun kasus HIV maupun kasus AIDS di Indonesia semakin bertambah jumlahnya, bahkan hingga September 2009 saja telah menembus angka 18.442 kasus di 300 kabupaten atau kota dan 32 provinsi di Indonesia [data dari P2PL].
Rate kasus Aids secara nasional sampai dengan 30 September adalah per 8,15 per 100 ribu penduduk (dengan berdasarkan data BPS penduduk Indonesia sebesar 227.132.350 jiwa) dengan ODHA yang meninggal tercatat 20,1 persen.
Kasus Aids tertinggi terdapat di provinsi Papua (17,9 kali angka nasional), Bali (5,3 kali angka nasional), DKI Jakarta (3,8 kali angka nasional), Kep. Riau (3,4 kali angka nasional), Kalimantan Barat (2,2 kali angka nasional), Maluku (1,8 kali angka nasional), Papua Barat (1,3 kali angka nasional), Kep. Bangka Belitung (1,4 kali angka nasional), Riau (1,0 kali angka nasional), DI Yogyakarta dan Sulawesi Utara (1,0 kali angka nasional) DI Yogyarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Utara (1,0 kali angka nasional) [data dari BPS dan P2PL].
Maka, dari data data tersebut kita dapat menarik beberapa alasan mengapa penyebaran HIV/AIDS di Indonesia cukup tinggi, yaitu :
• Meluasnya pelacuran
• Peningkatan hubungan seks pra nikah (sebelum menikah) dan ekstra marital (di luar nikah seperti melalui pelacuran)
• Prevalensi penyakit menular seksual yang tinggi
• Penggunaan jarum suntik yang tidak steril
Dan dapat disimpulkan bahwa fre sex mempunyai peran sangat berpengaruh dalam penyebaran HIV/AIDS, meskipun ada sebab lain seperti penggunaan jarum suntik yang tidak steril, tranfusi darah dari orang yang telah terkena HIV/AIDS, dari ibu hamil yang mengenai janinnya, dll, tetapi jika kita lihat angka angka kasus, data data dan penelitian yang telah ada dan dijelaskan diatas, Free sex sangat berberan dalam kaitannya dengan persebaran HIV/AIDS.










BAB III
METODE PENELITIAN


A. Desain Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan diperlukan suatu strategi yang akan berperan sebagai pedoman atau penuntun penelitian pada seluruh proses penelitian, dan karena penelitian ini bersifat pengujian hubungan antara Free sex dan HIV/AIDS, maka kami menggunakan Penelitian Kasus Control (Case Control Study)
Penelitian Kasus Control (Case Control Study)
Penelitian ini membandingkan kelompok kasus dan kelompok control berdasarkan status paparannya. Pemilihan subjek berdasarkan status penyakitnya, apakah mereka menderita (group kasus) atau tidak (group control) untuk kemudian dilakukan amatan apakah subjek mempunyai riwayat terpapar atau tidak
B. Populasi dan Sampel
I. Populasi
Kasus
Kelompok dengan kondisi,Semua pengidap HIV/AIDS yang telah tercatat di kota Jakarta, terpajan dan tidak terpajan 100 orang
Kontrol
Kelompok tanpa kondisi, terpajan dan tidak trpajan 100 orang
II. Sampel
Dasar pendidikan orang orang yang akan menjadi sampel ada yang tidak sekolah, tidak lulus SD, SMP, SMU, akademi, Perguruan Tinggi. Jenis kelamin Laki laki dan Perempuan.Bekerja, pengangguran, siswa, dan mahasiswa. Status menikah dan belum menikah.
III. Teknik Sampling
Teknik Sampling yang dipilih yaitu Simple Random Sampling, karena cara ini bersifat random (Probability Sampling), sehingga setiap subjek dalam populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel. Setiap bagian populasi yang mungkin berbeda satu dengan yang lainnya tetapi menyediakan populasi parameter, mempunyai kesempatan menjadi sampel yang representative.
Untuk mencapai sampling ini, setiap elemen diseleksi secara random (acak). Membuat frame kecil, nama ditulis di secarik kertas, di letakkan dikotak, diaduk dan diambil secara acak acak, karena ingin mengambil 60 sampel dari 200 populasi yang tersedia, maka secara acak akan diambil 60 sampel melalui pengambila nomor yang telah ditulis.

C. Variabel Penelitian
Yaitu karasteristik yang dimiliki oleh subjek yang berbeda dengan yang dimiliki kelompok tersebut, disini variabl termasuk (dependent variable) atau variable yang nilainya ditentukan oleh variable lain, yaitu HIV/AIDS yang nilainya nanti ditentukan oleh Free sex
D. Defenisi Operasional
Karena perlunya mendapatkan data yang akurat diperlukan desain dan pengumpulan data yang tepat. Pengumpulan data disini dilakukan dengan cara wawancara langsung person dengan person, pengumpulan data berhadapan langsung dengan sumber informasi, data diperoleh langsung dari sumber utamanya, dengan wawancara yang terstruktur, dengan pertanyaan pertanyaan yang telah disiapkan sebelum dilangsungkannya wawancara.




E. Tempat dan Jadwal Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada:
Tempat :Balai Pengobatan kota,jalan moh hatta no 192
Condet Jakarta
Hari/tanggal :21 Januari 2010
Waktu :09.00 sd selesai

Epidemiologi Penyakit Framboesia


PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Ada dua penyakit kulit yang perlu diwaspadai karena sering diabaikan yaitu Kusta dan Frambusia. Kusta dan frambusia merupakan penyakit kulit menular dan menahun yang mudah disembuhkan apabila ditemukan secara dini. Bila ditemukan sedini mungkin dan diobati dengan baik maka dapat mencegah penderita dari kecacatan tetap dan sembuh dalam waktu 6 bulan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat sangat penting dalam menemukan penderita dan melaporkan ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan.
Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 – 150 juta penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastik dari jumlah penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat kurangnya fasilitas kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini, diperkirakan sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.
Masih adakah frambusia di Indonesia? Jawabannya masih ada, tersebar di daerah kantong-kantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31 provinsi di Indonesia melaporkan adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti bahwa provinsi yang tidak melaporkan adanya frambusia di wilayah mereka tidak ada frambusia, hal ini sangat tergantung pada kualitas kegiatan surveilans frambusia di provinsi tersebut.
Pada tahun 1997 hanya enam provinsi yang melaporkan adanya frambusia dan pada saat krisis di tahun 1998 dan 1999 tidak ada laporan sama sekali dari semua provinsi. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, 8-11 provinsi setiap tahun melaporkan adanya frambusia. Pemerintah pada Pelita III (pertengahan pemerintahan Orde Baru) menetapkan bahwa frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan “Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)”. Namun, oleh karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya daerah tersebut dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah.

B. RUMUSAN ISI MAKALAH
Rumusan isi makalah ini mengungkapkan tentang penyakit Framboesia dari penyebab/Etiologi, factor resiko, klasifikasi penyakit sampai upaya pencegahan dan program pemberantasan tentang pandemi penyakit framboesia.

C. MANFAAT DARI PEMBUATAN MAKALAH
Manfaat dari pembuatan makalah ini sebagai bahan referensi mengenai penyakit Framboesia. Yang dimana kami bisa mengetahui lebih lanjut tentang penyakit ini hingga cara arau upaya pencegahan sehingga bisa melakukan tindakan sedini mungkin jika penyakit kembali mewabah.

BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Pengertian Framboesia
Framboesia atau Patek ( kamus kedokteran ). Penyakit framboesia atau patek adalah suatu penyakit kronis, relaps (berulang). Dalam bahasa Inggris disebut Yaws, ada juga yang menyebut Frambesia tropica dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Di zaman dulu penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk. Di Jawa saking populernya telah masuk dalam khasanah bahasa Jawa dengan istilah “ora Patheken”. Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.
Framboesia termasuk penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat karena penyakit ini terkait dengan, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai, apalagi di beberapa daerah, pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dialami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita..




B. Penyebab Atau Etiologi Penyakit Framboesia
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.
Framboesia berdasarkan karakteristik Agen :
1. Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang Agen untuk berkembang biak di dalam jaringan penjamu.
2. Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
3. Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
4. Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan Agen untuk merusak jaringan kulit dalam tubuh penjamu.
5. Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang satu dengan yang lainnya.
6. Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan gejala awal Agen mampu merusak antibody yang ada di dalam sang penjamu.


C. Faktor Resiko

1. Distribusi
Terutama menyerang anak-anak yang tinggal didaerah tropis di pedesaan yang panas, lembab, lebih sering ditemukan pada laki-laki. Prevalensi frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan 1960-an, namun penyakit frambusia muncul lagi di sebagian besar daerah katulistiwa dan afrika barat dengan penyebaran fokus-fokus infeksi tetap di daerah Amerika latin, kepulauan Karibia, India, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan.

2. Determinan
Faktor penyebab penyakit Framboesia adalah Treponema pallidum sub spesies pertenue. Namun bukan hanya Agen saja tetapi lingkungan si penjamu juga dapat mempengaruhi timbulnya penyakit Framboesia seperti sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyrakat akan kebersihan diri, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk, kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai dan kontak langsung dengan kulit penderita penyakit Framboesia.









D. Jenis Klasifikasi

Jenis klasifikasi penyakit framboesia yaitu penyakit menular melalui :
1. Dapat menular melalui air yaitu terbukti dengan banyaknya para penderita penyakit Framboesia di daerah yang sanitasi air dan lingkungannya tidak terjaga atau kotor yang dapat memungkinkan Agen untuk berkembang biak dan menulari Penjamu.
2. Dapat menular melalui kulit yaitu dengan melakukan kontak langsung penderita yang dimana si Agen berkembang biak di si penderita.

E. Riwayat Alamiah Penyakit

Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak sakit dan bertahan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Lesi kemudian menyebar membentuk lesi yang khas berbentuk buah frambus (raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut dari penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan akan mengakibatkan disabilitas dimana sekitar 10-20 persen dari penderita yang tidak diobati akan cacat seumur hidup dan menimbulkan stigma social, yang tentunya akan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, hal inilah kemudian menjadi tantangan bagi seorang publich health dalam mencegah timbulnya penyakit tersebut dan memperpanjang masa hidup seseorang.

F. Tanda dan Gejala Klinis

Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini penederita belum menunujukan gejala penyakit. Namun, tidak menutup kemungkinan si penyakit telah ada dalam tubuh si penderita.

Tahap Prepatogenesis
1. Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi Framboesia adalah dari 2 sampai 3 minggu
2. Tahap Dini
Terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
3. Tahap Lanjut
Pada gejala lanjut dapat mengenai telapak tangan, telapak kaki, sendi dan tulang, sehingga mengalami kecacatan. Kelainan pada kulit ini biasanya kering, kecuali jika disertai infeksi (borok).
Tahap Pasca Patogenesis
Pada tahap ini perjalanan akhir penyakit hanya mempunyai tiga kemungkinan yaitu :
1. Sembuh dengan cacat penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 persen dari penderita
2. Karier tubuh penderita pulih kembali, namun bibit penyakit masih tetap ada dalam tubuh.
3. Penyakit tetap berlangsung secara kronik yang jika diobati akan menimbulkan cacat kepada si penderita.


G. Reservoir dan Cara Penularan

1. Reservoir
Manusia dan mungkin Primata kelas tinggi. Sangat berpeluang tertular penyakit ini.
2. Cara Penularan
Prinsipnya berdasarkan kontak langsung dengan eksudat pada lesi awal dari kulit orang yang terkena infeksi. Penularan tidak langsung melalui kontaminasi akibat menggaruk, barang-barang yang kontak dengan kulit dan mungkin juga melalui lalat yang hinggap pada luka terbuka, namun hal ini belum pasti. Suhu juga mempengaruhi morfologi, distribusi dan tingkat infeksi dari lesi awal.

H. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan dengan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik langsung FA dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (Venereal Disease Research Laboratory), RPR (Rapid Plasma Reagin) reaktif pada stadium awal penyakit menjadi non reaktif setelah beberapa tahun kemudian, walaupun tanpa terapi yang spesifik, dalam beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil yang terus reaktif pada titer rendah seumur hidup. Test serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (Fluorescent Trepanomal Antibody – Absorbed), MHA-TP (Microhemagglutination assay for antibody to T. pallidum) biasanya tetap reaktif seumur hidup.
Dan dapat dilakukan dengan 3 metode dalam Epidemiologi yaitu :
1. Anamnese
2. Tanda (Sign)
3. Tes (Uji/Pemeriksaan)

I. Upaya Pencegahan

a. Upaya Pencegahan (tahap Prepatogenesis)
Walaupun penyebab infeksi sulit dibedakan dengan teknik yang ada pada saat ini. Begitu pula perbedaan gejala-gejala klinis dari penyakit tersebut sulit ditemukan. Dengan demikian membedakan penyakit treponematosisi satu sama lainnya hanya didasarkan pada gambaran epidemiologis dan faktor linkungan saja. Hal-hal yang diuraikan pada butir-butir berikut ini dapat dipergunakan untuk manangani penyakit frambusia dan penyakit golongan treponematosis non venereal lainnya.
1. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada factor penyebab, lingkungan serta factor penjamu.
a. Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, yang bertujuan untuk menghilangkan mikro-organisme penyebab penyakit, penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan menghilangkan sumebr penularan maupun memutuskan rantai penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan rantai penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi atau menghilangkan sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan penderita serta pemusnahan sumber yang ada, serta mengurangi atau menghindari perilaku yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.
b. Mengatasi atau modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta bentuk pemukiman lainnya, perbaikan dan peningkatan lingkungan biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga, hubungan antar individu dan kehidupan sosial masayarakat.
c. Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi, status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya, peningkatan status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari pengaruh factor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan kualitas gizi, serta olahraga kesehatan.


2. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan kepada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan menderita (masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses penyakit untuk lebih lanjut serta mencegah terjadinya akibat samping atau komplikasi.
a. Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha surveillance penyakit tertentu, pemeriksaan berjala serta pemeriksaan kelompok tertentu ( calon pegawai, ABRI, Mahasiswa, dan lain sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perawatan yang efektif.
b. Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai berada pada proses prepatogenesis Framboesia.
3. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit Framboesia dengan tujuan mencegah jangan sampai cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya penyakit tersebut atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam mencegah proses penyakit lebih lanjut agar jangan terjadi komplikasi dan lain sebagainya.
Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit Framboesia. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian funsi fisik, psikologis, sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial.
b. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Masyarakat (tahap Patogenesis)
1. Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Di daerah endemis tertentu dibeberapa negara tidak sebagai penyakit yang harus dilaporkan, kelas 3B (lihat laporan tentang penularan penyakit) membedakan treponematosis venereal & non venereal dengan memberikan laporan yang tepat untuk setiap jenis, adalah hal yang penting untuk dilakukkan dalam upaya evaluasi terhadap kampanye pemberantasan di masyarakat dan penting untuk konsolidasi penanggulangan pada periode selanjutnya.
2. Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari kontaminasi lingkungan sampai luka sembuh.
3. Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur.
4. Karantina: Tidak perlu
5. Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu
6. Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang kontak dengan penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak memperlihatkan gejala aktif diperlakukan sebagai penderita laten. Pada daerah dengan prevalensi rendah, obati semua penderita dengan gejala aktif dan semua anak-anak serta setiap orang yang kontak dengan sumber infeksi.
7. Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas dengan gejala aktif dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal benzathine penicillin G (Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk penderita usia dibawah 10 tahun.
c. Upaya Penanggulan Wabah (Tahap Pasca Patogenesis)
Dengan melakukan program pengobatan aktif untuk masyarakat di daerah dengan prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program ini adalah:
1. Pemeriksaan terhadap sebagian besar penduduk dengan survei lapangan.
2. Pengobatan terhadap kasus aktif yang diperluas pada keluarga dan kelompok masyarakat sekitarnya berdasarkan bukti adanya prevalensi frambusia aktif.
3. Melakukan survei berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan disuatu negara.

J. Program Pemberantasan

Strategi Pemberantasan framboesia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
1. Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan penderita.
2. Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK) dan dilakukan pencarian kontak.
3. Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
4. Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.

Pengobatan framboesia dilakukan dengan memberikan antibiotika. Antibiotika golongan penicillin merupakan obat pilihan pertama. Bila penderita alergi terhadap penicillin, dapat diberikan antibiotika tetrasiklin, eritromisin atau doksisiklin.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Sundanese Attack Free Blogspot Templates Designed by sYah_ ID RAP for smashing my Life | | Free Wordpress Templates. Cell Numbers Phone Tracking, Lyrics Song Chords © 2010