Adsense Indonesia
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Januari 2012

Jembatan "Indiana Jones" Lebak Banten saksi anak anak yang semangat belajar


Tepatnya jumat tanggal 20 Januari 2012, sore itu saya tidak sengaja saya temukan foto dengan thumnail kecil dengan komposisi yang unik dan seperti nya harus di klik saat saya menscrol down timeline facebook saya. di situ tertulis photo by Beawiharta Belly, ada caption yang cukup lucu dan menggelitik namun miris seusai membacanya.

Melihat foto Asep dari Antara, saya brangkat ke Lebak untuk
memotret subyek yang sama. Sekolah disana extra kurikulernya akrobatik. Hard days to get a school. Tempatnya cuma sekitar 130 km dari gedung DPR kita, 3 jam naik mobil.

Students hold on to the side steel bars of a collapsed bridge as they cross a river to get to school at Sanghiang Tanjung village in Lebak regency, Indonesia's Banten village January 19, 2012. REUTERS/Beawiharta
Buat yang share jangan lupa keterangan fotonya diikutkan. Agar tidak kehilangan makna.

Foto yang di ambil di daerah Kabupaten Lebak-Banten itu saya rasa sungguh bikin heboh notifikasi di akun fb om Bea. Ujungnya foto ini sampai tersebar ke manca negara menjadi berita dengan berbagai tanggapan. dan sampai menggugah hati seorang pemain bola asal Manchester City jauh diinggris sana.

Bola.net - Siapa yang tak tersentuh hatinya, ketika Anda melihat foto di atas ini. Potret nyata kehidupan di sudut Indonesia tercinta, sekumpulan anak-anak rela mempertaruhkan nyawa mereka 'demi' sebuah harapan untuk masa depan mereka yang bernama 'pendidikan'.


Anak-Anak di Banten ini tiap pagi harus menyeberangi 'Jembatan' yang sesungguhnya sudah tak layak lagi disebut sebagai jembatan hanya untuk pergi ke sekolah.

Foto wartawan Reuters tersebut ternyata menarik perhatian Vincent Kompany, kapten dari Manchester City, dalam akun Twitter-nya, ia memposting tersebut sembari berbagi empati dengan menuliskan, "Indonesia, anak-anak menempuh resiko dengan nyawa mereka saat bergantung pada 'Jembatan' demi pergi ke Sekolah"

Terkadang memang ironis di saat mereka benar-benar butuh bantuan yang nyata, 'Dewan Perwakilan' anak-anak ini malah ribut-ribut seputar pengajuan renovasi toilet yang dananya selangit itu, alangkah lebih bergunanya jika sedikit dari dana itu disisihkan untuk menolong mereka..

Satu hari usai foto ini diupload akhirnya menimbulkan reaksi positif , pemkot berjanji akan segera membangun jembatan tersebut hari ini, dan mau minta maaf

sama om bea, karena saya juga ikutan sharing ke 8 komunitas fotografer di group facebook yang kira-kira membernya paling sedikit 2000 dan paling banyak 10.000 semoga bb nya ga rusak ya om. ngebayangin ada 1240 notifikasi dalam 24 jam.

berikut foto-foto dari link yang saya dapat dari akun facebook om bea dan twitter si kompany

















nih videonya gan


indiana jones

FILM DOKUMENTER : TEARS OF GAZA


sebelumnya saya mo bilang kalo ini bukan SARA. ini cuma sekelompok orang yang menderita dan hanya jadi tontonan kita selama berpuluh2 tahun dan entah sampai kapan. jangan ada koment yang menyinggung sara, baik agan yang merasa pro atau kontra tinggalkan ego agan semua..

biarkan agan nikmati film ini dan rasakan bagaimana jika agan berada disitu.. terlepas agan agama suku dan ras apa.. lalu coment yang membangun gan jangan mencaci dan memaki..

YANG PASTI INI ADALAH SEBUAH KISAH NYATA, DIMANA KITA HANYA TERDIAM DAN MEMBISU,,
MANA PERAN DUNIA??
MANA PERAN KALIAN??
APAKAH KALIAN TEGA MELIHAT SAUDARA SAUDARA KITA MENDERITA..

KITA SIMAK KISAHNYA...

TEARS OF GAZA PART 1




TEARS OF GAZA PART 2




TEARS OF GAZA PART 3




TEARS OF GAZA PART 4




TEARS OF GAZA PART 5





TEARS OF GAZA PART 6-LAST

Jumat, 30 Desember 2011

BAPAK TUA PENJUAL AMPLOP



Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.

Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.



Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.



Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.

Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.

Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.



Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.

Sabtu, 13 November 2010

Digusur, Nenek lumpuh keturunan Diponegoro




Rumah nenek lumpuh ini akan disita Perusahaan Perdagangan Indonesia.
Keturunan pangeran Diponegoro, Sukartinah Mahruzar (69), terancam terusir dari rumahnya. Sumber pangkalnya terkait sengketa hak kepemilikan rumah antara dirinya dengan Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

Rumah Sukartinah, yang terletak di Jalan Blitar No. 3 RT 04 RW 05, Menteng, Jakarta Pusat, di belakang Taman Menteng, telah dibeli ayahnya sejak tahun 1952. Sukartinah juga telah memenangkan putusan pengadilan tingkat pertama, meski dikalahkan di tingkat banding dan kasasi.

Kata Sukartinah, "Rumah saya sudah dalam proses lelang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat."

Sukartinah mengaku merupakan keturunan Pangeran Diponegoro dari garis ayahnya yang bernama Raden Soekardjono Rekso Soeprodjo dan kakeknya, Raden Dipodilogo.

Sengketa berawal pada tahun 1987, saat PPI mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut. Kemudian, digugatlah status tanah yang telah ditempati Sukartinah sejak berpuluh-puluh tahun ini.

PPI beralasan surat keterangan pembelian rumah atas nama ayah Sukartinah, Rd. Soekardjoni, tidak sah dan tidak berlaku karena perusahaan Belanda "NV Lettergieterij Amsterdam" tidak lagi mempunyai hak dan wewenang untuk memberikan surat keterangan tanah dan bangunan tersebut setelah perusahaan tersebut dinasionalisasi.

Sengketa pun berlanjut ke pengadilan hingga Mahkamah Agung. Hasilnya, majelis hakim MA menolak permohonan kasasi PT PPI per tanggal 14 September 2009.

Sukartinah berkisah, kepemilikan rumah seluas 860 meter persegi ini bermula saat ayahnya bekerja di perusahaan Belanda itu. Karena sudah lama bekerja, ayah Sukartinah diberi kesempatan untuk mencicil rumah itu, antara 1952-1957, dengan cicilan Rp10 ribu per tahun.

"Rumah ini dibeli bapak saya dari perusahaan Belanda "Lettergieterij Amsterdam" tempat bapak saya bekerja. Ada surat tanah dan tanda terimanya," ujar Sukartinah.

Pada tahun 1957 perusahaan Belanda tersebut dinasionalisasi dan lalu berganti nama menjadi Perusahaan Perdagangan Indonesia. Belakangan, PPI menyangkal telah menjual rumah ini kepada keluarga Sukartinah.

Saat ini, Sukartinah tinggal seorang diri di rumahnya. Putri semata wayangnya saat ini tinggal dan bekerja di Hongkong. Meski menderita kelumpuhan sejak dua tahun lalu, nenek ini tetap hidup mandiri. Untuk biaya hidup, ia menyewakan halaman rumahnya untuk penitipan gerobak pedagang keliling.

Pihak PPI belum dapat dimintai penjelasannya. Saat dihubungi, Cindy staf legal PPI hanya menyatakan, "Tidak ada yang bisa kasih pejelasan. Pimpinan kami sedang keluar kota. Kembali hari Senin." (umi)
• VIVAnews

Nenek Lumpuh Cicit Diponegoro Itu Tergusur




Sukartinah: "Akan saya perjuangkan rumah peninggalan ini, meski dengan keterbatasan saya."
Tinggal kekuatan hati yang dipersiapkan Sukartinah Ahruzar, 69 tahun, untuk menghadapi ancaman pengusiran dari rumahnya sendiri di Jalan Blitar Nomor 3, di belakang Taman Menteng, Jakarta Pusat.

Sukartinah bukan sembarang nenek. Menurut pengakuannya, dia adalah cicit Pangeran Diponegoro. Garis darah dengan pahlawan nasional yang dikagumi itu, kata Sukartinah, bersumber dari garis ayahnya, Raden Soekardjono Rekso Soeprodjo, dan kakeknya, Raden Dipodilogo.

Adalah Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang mengklaim rumah yang ditempati Sukartinah sebagai milik mereka. Sengketa berawal pada tahun 1987 dan PPI pun melayangkan gugatan atas rumah dan tanah yang telah ditempati Sukartinah sejak berpuluh-puluh tahun itu.

Surat tanah yang dimiliki Sukartinah dianggap tidak sah. PPI beralasan surat keterangan pembelian rumah di tahun 1952 atas nama ayah Sukartinah, Rd. Soekardjono, tidak sah karena perusahaan Belanda "NV Lettergieterij Amsterdam" tidak lagi berhak menerbitkan surat setelah perusahaan tersebut dinasionalisasi.

Sengketa pun berlanjut ke pengadilan hingga Mahkamah Agung. Hasilnya, majelis hakim MA mengabulkan permohonan kasasi PT PPI per tanggal 14 September 2009.

"Rumah saya sudah dalam proses lelang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Sukartinah, pasrah. Harga buka sudah ditetapkan senilai Rp8,5 miliar.

Sukartinah berkisah, kepemilikan rumah seluas 860 meter persegi ini bermula saat ayahnya bekerja di perusahaan Belanda itu. Karena sudah lama bekerja, Rd. Soekardjono diberi kesempatan untuk membelinya, dengan cara mencicil Rp10 ribu sebulan, antara 1952-1957.

"Rumah ini dibeli bapak saya dari perusahaan Belanda, Lettergieterij Amsterdam, tempat bapak saya bekerja. Ada surat tanah dan tanda terimanya," ujar Sukartinah.

Pada tahun 1957 perusahaan Belanda tersebut dinasionalisasi dan lalu berganti nama menjadi Perusahaan Perdagangan Indonesia.

Kursi roda

Sukartinah kini tinggal seorang diri di rumah seluas 860 meter persegi itu. Anak putri semata wayangnya, Syahnara Mahruza, 38 tahun, memilih tinggal dan bekerja di Hong Kong. Suaminya, Mahruzar telah meninggal sejak beberapa tahun lalu. Empat saudara kandung Sukartinah juga memilih tinggal di luar Jakarta.

Walaupun lumpuh sejak dua tahun lalu, Sukartinah tidak mau menggantungkan hidup pada orang lain. Meski hidup di atas kursi roda, dia tetap berusaha hidup mandiri. Semua dia lakukan sendiri, seperti ke pasar atau mengambil uang ke bank. "Sudah terbiasa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Belanja pakai kursi roda," ujar Sukartinah, saat ditemui VIVAnews.com di rumahnya, Jumat 12 November 2010.

Demi menyambung hidup, ia menyewakan halaman rumahnya untuk penitipan gerobak pedagang keliling. Hasilnya ia gunakan untuk membayar listrik dan kebutuhan hidup lain. Sang suami tak meninggalkan uang pensiun. "Gini-gini, saya anak Menteng," ujarnya sambil tertawa.

Sukartinah telah tinggal selama 64 tahun lalu di rumah itu, sejak dia berusia lima tahun. Menurut dia, rumah itu sudah dilunasi ayahnya. Tanda bukti pembelian dan surat tanah semua lengkap ia simpan. Pelunasan pun dilakukan sebelum perusahaan Belanda itu dinasionalisasi. Sebagai pemilik rumah, dia selalu runtin membayar pajak bumi dan bangunan. Makanya, dia heran kenapa tiba-tiba rumah warisan orangtuanya ini tiba-tiba diakui pihak lain.

"Akan saya perjuangkan rumah peninggalan ini, meski dengan keterbatasan saya," ujar Sukartinah, dengan nada tegas.

PPI hingga kini belum dapat dimintai penjelasannya. Saat dihubungi wartawan VIVAnews.com, Cindy staf legal PPI hanya menyatakan, "Tidak ada yang bisa kasih pejelasan. Pimpinan kami sedang keluar kota. Kembali hari Senin."

Sementara itu, Suryati Ananda (60) yang pernah mendampingi Sukartinah selama enam tahun untuk mengurus perkara ini juga mengaku kaget dengan upaya lelang eksekusi yang akan dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurutnya, lelang itu tidak berdasar. Pada persidangan perdata di pengadilan yang sama, Sukartinah dinyatakan menang. Tapi di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung kliennya dikalahkan. "Bagaimana bisa, tiba-tiba kami kalah PT dan MA," ujarnya.

Suryati telah meminta kepada pengadilan untuk menunda eksekusi selama satu bulan. Entahlah hasilnya.

Sementara Pangeran Diponegoro telah dengan gagah-berani mengusir penjajah dari negeri ini, cicitnya kini harus terusir dari tanah yang telah puluhan tahun dia tempati. (kd)
• VIVAnews
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Sundanese Attack Free Blogspot Templates Designed by sYah_ ID RAP for smashing my Life | | Free Wordpress Templates. Cell Numbers Phone Tracking, Lyrics Song Chords © 2010